Oleh: Hana Fathiya Dasairy
Dept. Kajian dan Strategis DEMA FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Geger vaksin palsu yang beredar di sejumah rumah sakit
selama bertahun-tahun mulai terbongkar bobrok kejahatannya. Mirisnya, oknum
yang sering dipandang sebagai dalang dari kejadian ini adalah dokter, perawat,
bidan, bahkan apoteker.
Tahukah kalian jika vaksin palsu telah menambah masalah
baru dalam dunia kesehatan di Indonesia? Pasalnya, pada Juni
2016, masyarakat kembali dibuat
risau dengan beredarnya vaksin
palsu pada
beberapa fasilitas kesehatan di wilayah
Indonesia.
Ironisnya, vaksin ini disinyalir peredarannya telah ada sejak 2003 silam. Kesehatan
generasi masa depan kini perlahan
direnggut oleh peredaran obat dan vaksin palsu yang
mengerikan. Akibat ulah
oknum yang tidak bertanggung jawab, anak-anak bangsa terpaksa menjadi
korbannya. Siapa yang harus disalalahkan? Mengapa semua
pihak yang bertanggung jawab melakukan pengawasan seolah saling melemparkan
tanggung jawab? Dimana pemerintah
yang seharusnya mengambil kebijakan? Sekarang yang terlihat ialah fasilitas
kesehatan justru mengancam kesehatan dengan adanya vaksin palsu. Ada apa
sebenarnya dengan vaksin palsu? Semua akan diulas pada artikel ini.
Vaksin
seperti yang kita ketahui merupakan
bakteri dan virus yang telah dilemahkan, kemudian diberikan kepada seseorang sehingga memiliki kekebalan
terhadap suatu penyakit.
Hingga saat ini, tak bisa dipungkiri bahwa masih banyak penyakit infeksi dan menular yang berbahaya bahkan mematikan seperti meningitis,
hepatitis, tuberkulosis, polio, dan penyakit lain yang salah satu pencegahannya adalah dengan pemberian vaksin.
Faktanya, vaksin yang diindikasi palsu ini membuat balita dan anak-anak yang melakukan
imunisasi terancam terserang penyakit. Masyarakat merasa dirugikan selain
karena biaya yang mahal namun juga implikasi yang lebih serius akibat hilangnya
imunitas dalam tubuh anak bahkan adanya kemungkinan masuknya zat-zat tertentu
yang berdampak buruk terhadap kesehatan anak pada jangka panjang.
Mengapa vaksin ini dapat beredar? Jawabannya adalah
karena adanya oknum pembuat vaksin palsu, permintaan vaksin di
luar program pemerintah
serta fasilitas kesehatan diluar pemerintah yang bertindak sebagai penerima
vaksin palsu. Terdapat sembilan vaksin program pemerintah yang semuanya bisa didapatkan secara gratis di Puskesmas atau
Posyandu. IDI (Ikatan
Dokter Indonesia) mengakui kekosongan vaksin impor menjadi alasan peredaran
vaksin palsu, kelangkaan yang terjadi ini dikarenakan tingginya permintaan
vaksin yang membuat rumah sakit mencari vaksin sendiri
untuk memenuhi permintaan pasien.
Meskipun
pemerintah sudah menyediakan vaksin lokal, tidak sedikit masyarakat yang
memilih menggunakan vaksin impor ketika melakukan imunisasi. Hal inilah yang perlu
diperhatikan khususnya bagi orangtua untuk waspada dengan vaksin yang diberikan
oleh rumah sakit swasta dan klinik-klinik karena asal muasal vaksin yang tidak
terjamin, bisa dari pemerintah atau dari produsen lain.
Sejak 1977 pemerintah Indonesia telah melaksanakan program imunisasi
untuk setiap bayi di Indonesia
dengan program
imunisasi wajib seperti
imunisasi (BCG, DPT, Hepatitis B, dan Polio) sebagai upaya dalam pencegahan
penyakit. Namun pada 2016, Masyarakat dihebohkan dengan berita beredarnya
vaksin palsu yang membuat para orangtua khawatir dan takut melakukan imunisasi
untuk sang buah hati.
Reaksi masyarakat bertambah parah setelah mengetahui
hasil rapat kerja tindak lanjut penanggulangan vaksin palsu yang dihadiri oleh
Menkes RI, Bareskim Polri, BPOM RI, IDAI, Biofarma, dan Satgas penanggulangan
vaksin palsu pada hari Kamis (14/07/2016). Hasil rapat tersebut menguak 14 rumah
sakit dan 8 klinik/bidan yang menerima vaksin palsu. Rumah sakit tersebut mayotitas
tersebar di Bekasi dan sisanya Jakarta Timur. Berita ini membuat masyarakat
naik pitam sehingga rumah sakit tersebut langsung digeruduk masyarakat yang
memintai pertanggungjawaban.
Begitupun dengan tersangka yang ditetapkan oleh
Bareskrim Polri dari hari ke hari terus bertambah. Hingga hari dimana artikel
ini ditulis (22/07/2016) jumlah tersangka yang ditetapkan sebanyak 23 orang, tidak
menutup kemungkinan jumlah rumah sakit
dan klinik yang menerima vaksin palsu maupun jumlah tersangka akan terus
bertambah selama proses tindak lanjut. Lantas, bagaimana hukuman kepada rumah
sakit dan oknum yang terlibat atas kejahatan vaksin palsu ini?
Berpangkal
pada persoalan tersebut, menjadi penting untuk melihat bagaimana sebenarnya
hukum menempatkan tanggung jawab semua pihak, khususnya rumah sakit, sebagai
badan hukum atau korporasi dalam peristiwa vaksin palsu ini. Jika kita kaji Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang
kesehatan, terdapat dua pasal yang berbicara hukuman pidana bagi para sindikat
kasus vaksin palsu.
Kita bisa lihat pada pasal 196 yang menyatakan, “Setiap orang yang sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan
mutu diancam pidana penjara sampai dengan 10 (sepuluh) tahun dan denda maksimal
Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).”
Selanjutnya
dalam pasal 197 yang menyatakan, “Setiap
orang yang sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar diancam pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda maksimal Rp1.500.000.000 (satu miliar lima ratus
juta rupiah).”
Pertanyaan yang hingga saat ini masih menjadi
teka-teki adalah tentang hukuman untuk rumah sakit. Berdasarkan hasil kajian
kami, menteri kesehatan Nila F Moelek sepertinya belum bisa menentukan pasal yang
bakal digunakan untuk menjerat rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu. Hal ini disebabkan masih beroperasinya kepolisian
yang melacak adanya peran oknum di belakang rumah sakit. Kita tidak boleh serta merta menyalahkan manajemen
rumah sakit dalam kasus ini, karena bisa saja rumah sakit tidak mengetahui
vaksin yang dibelinya palsu..Jika manajemen yang salah,
konsekuensinya akan terkena hukuman fasilitas kesehatan. Tetapi jika oknum (individu) yang salah, maka sanksinya adalah hukum pidana.
Menanggapi kasus ini, pemerintah terus berupaya
mengupas tuntas sindikat kasus vaksin palsu dan memastikan semua
bayi dan anak berusia di bawah lima tahun (balita) yang diduga telah terpapar vaksin palsu di
sejumlah rumah sakit dalam beberapa tahun terakhir akan mendapat vaksinasi ulang secara gratis. Selain memberi penanganan medis,
pemerintah juga membuka posko pengaduan dan call center bagi masyarakat yang
menjadi korban. Dalam hal ini,
pemerintah menghimbau bagi masyarakat yang menjadi korban vaksin palsu agar
tetap tenang dalam menghadapi masalah pemberian vaksin palsu karena peristiwa
ini menyangkut waktu yang
lama, maka perlu kehati-hatian
dan penelusuran
pasti membutuhkan jangka
waktu yang panjang, sehingga siapapun
yang
dirugikan akibat
vaksin palsu ini betul-betul terdata.
Mengingat kejadian ini menyangkut kelalaian tenaga
kesehatan. penting bagi tenaga kesehatan untuk selalu menerapkan kolaborasi
antar profesi dalam memenuhi hak pasien, dengan membangun sinergi antar profesi
kesehatan, maka akan tercipta peningkatan pada mutu pelayanan kesehatan. Semangat
antar profesi akan semakin meningkat jika penghargaan dan peran dapat diberikan
secara optimal pada setiap profesi dalam semangat kebersamaan dan kesetaraan
dalam satu tim kesehatan. Tim yang baik adalah tim yang saling
komplementer, bukan subordinate dari anggota tim. Karena sesungguhnya setiap
profesi memiliki keunikan dan keunggulan yang tidak dimiliki oleh profesi lain. Semoga kasus vaksin palsu ini dapat segera dibenahi
dari regulasi produksi, distribusi, hingga tenaga medis dan pasien sehingga
masyarakat dapat kembali mengikuti program vaksinasi dengan aman.